Java Heat: A Movie and Beyond



Berkas:Java Heat Poster 2013.jpg
Java Heat via Wikipedia
Cang Pilem-- Kali ini saya akan mereview Film Java Heat (2013), yang disutradarai oleh Conor Allyn dan turut dibantu oleh Rob Allyn sebagai produser. Film dibawah label Margate House Films ini menampilkan sejumlah aktor dan aktris Indonesia berduel langsung dengan pemain Hollywood. Pemeran utama di sini adalah Kellan Lutz (Jake Travers), Mickey Rourke (Malik), Ario Bayu (Hashim), dan Atiqah Hasiholan (Sultana) selain itu, terdapat pula Rio Dewanto sebagai Anton dan Mike Muliadro sebagai Achmad
Film ini menyajikan sudut pandang lain terhadap terorisme. Dimana teroris yang digambarkan dengan “orang jihad pakai surban dan janggut” diperalat oleh orang Barat demi kepentingan bisnis atau motif ekonomi. Mereka dibayar dengan sejumlah uang sebagai dana untuk “berjihad”. Artinya, setiap tindak kejahatan atau pengeboman tidak selalu tampak seperti apa adanya. Ada sesuatu dibalik itu. Seperti tagline-nya, "nothing is as it seems".
Openingnya dengan menampilkan candi borobudor, sebagai icon jawa. Lalu dilanjutkan dengan Indonesia sebagai negera ke empat terbesar di dunia dengan muslim terbanyak di dunia.
Ruang Interogasi
Lalu, dibuka dengan penampilan Jake, sebagai saksi. Di dalam ruang interogasi, digambarkan ada panah ynag menunjukkan ke arah Mekkah. Pertanyaannya “apakah ada orang yang shalat di ruang interogasi?”
Ketika interogasi, si bule menyebut dirinya sebagai mahasiswa Cornell University yang merupakan salah satu kampus terbaik di dunia. Ia sedang dalam masa pertukaran untuk mempelajari kesenian Asia Tenggara.
Memang, di Cornell terdapat studi khusus tentang asia tenggara. Di sana pula, seperti yang pernah diberitahukan oleh Nick, yang telah meneliti di Aceh bahwa di sana terdapat studi khusus tentang Indonesia dan Aceh. Jangan-jangan mereka lebih tahu dari kita tentang Indonesia atau Aceh?
Akan tetapi, bukan itu yang jadi sorot utamanya. Saya melihat secara keseluruhan, film ini fokus pada konflik utama, yaitu pengeboman di Keraton dan menemukan pelaku dan motifnya.
Dalam perjalanannya, konflik lain pun bermunculan. Mulai dari penculikan putri keraton, pembunuhan raja keraton, penculikan keluarga Hashim, penggerebekan rumah tersangka teroris hingga perencanaan pembunuhan terhadap Jake dan Hashim. Hingga akhirnya, paman sulthana si bunuh di kamp pada saat festival pelepasan lampion, yang menjadi klimaks film.
Karakter
Karakter yang diperankan oleh Jake sangat khas Amerika, tidak takut, keras dan terlihat menantang orang. Meski sedang di negara orang atau di meja interogasi.
Apakah begini bahasamu ketika mengajarkan murid-muridmu? Tanya Lt. Hashim (Ario Bayu). Lalu jake mengalihkan pertanyaan itu dengan menjawab, “seharusnya kau dengar apa mereka memanggilku”.
Di sini diperkenalkan tradisi Indonesia; batik, yang dijadikan sebagai pakaian resmi dan keadaan masyarakat dan perkotaan di Jogjakarta.
Menurut saya, ada sedikti adegan yang menggelitik di sini. Dalam dialog, “Pak Jendral…” kata Hashim. Lalu dijawab oleh Jendral, “In English…”.  Kenapa di dalam mobil bersama Jendral, Jenderalnya menyuruh Hashim berbahasa Inggris. Kenapa tidak dari pertama langsung berbahasa Inggris, kalau memang pasar film ini ke dunia luar, bukan Indonesia saja.
Di dekat tugu Jogja, terdapat poster yang berisi “Pemerintah yang kuat untuk jawa Yang lebih baik”. Kenapa posternya justru sang Jenderal? Bukan Gubernur atau yang setingkat lebih tinggi?
Menariknya, ada sorotan khas kota Jogja, yaitu baliho menarik yang berisi “Ben Aku wong cilik, yang penting kaliku resik”.
Bule, sebutan khas untuk orang Barat memang bukan hal yang baru. Mungkin, karena pasarnya untuk luar Indonesia, terminologinya telah dijelaskan sedikit tentang “bule” oleh Hashim pada saat dialog di TKP.
Motif
Malik, orang Amerika yang berperan sebagai kolektor perhiasan dan mendapat bayaran mahal dari usahanya, lalu menyandera Sulthana (Atiqah). Dengan panggilan yang khas Muslim—Malik--, ditambah dengan mengucapkan salam ketika menelpon berhasil mengelabui lawan mainnya kalau saja tidak melihat potretnya. Namun, disini, lagi-lagi  ucapan salam “assalamualaikum” diucapkan dengan nada menyindir.
Pada saat adegan pengawal keraton membobol Bank Indonesia, terdapat kejanggalan. Yakni, tingkat keamanan bank Indonesia yang dipertanyakan. Sebagai bank yang mengurusi keuangan di Indonesia dan menaungi semua bank, kemananannya tidaklah seperti itu. Kita tahu, ada polisi yang berjaga-jaga dan kamera cctv yang disiagakan penuh.
Lalu, dalam membawa perhiasan kerajaan, pengawal kerajaan tidak bersenjata lengkap atau dikawal oleh polisi. Mereka hanya berpakaian khas jawa dengan memakai blankon dan senjata serbu laras panjang biasa, semacam AK-47 dan pistol di kemudi sopir.
Meninggalnya raja
Ketika raja meninggal, kenapa seperti kematian orang biasa? Tidak ada berita khusus atau ada tindakan khusus? Di sini hanya radio yang memberitakan soal kematian raja dan menyebut Richard travers dan Letnan Hashim sebagai buronan dan pelaku pembunuhan. Semestinya, berita ini jadi heboh dan bukan pihak kerajaan saja yang turun tangan. Bisa sampai ke Densus 88, semestinya.
Kemudian, ketika tim istana menyerbu Jake dan Hashim, mereka memakai basoka. Kenapa tidak pakai senjata lain semacam granat atau peledak? Dan kotak perhiasannya tidak rusak sama sekali. Aparat keamanan pun tidak ada yang kesitu. Pengawal kerajaan bisa bebas bereaksi. Yang dating kemudian adalah pemadam kebakaran dan ambulan. Bukannya polisi. Padahal, ini adalah masalah serius terkait keamanan.
Saya melihat Densus 88 tidak berfungsi ketika Letnan Hashim sedang tidak “bertugas”.  Padahal, pada awal dialog antara Hashim dan Jake di meja interogasi telah dijelaskan bahwa densus 88 adalah detasmen khusu yang terlatih dan tidak dikenal oleh Amerika.
Klimaks
Ketika Malik melarikan diri dengan membawa putrid, sulthanah, dia menaiki Borobudor. Entah karena pasal apa dia ke sana. Soalnya, untuk melarikan diri akan susah, apalagi dia membawa putri. Karena, ketika Anda sampai ke puncak candi, jalan “pulang” adalah dengan menuruninya, bukan malah menaiki candi.
Terlepas dari sejumlah “ketidaklogisan” film ini dengan tidak melihat Indonesia (Jawa) dari dalam, terdapat pula hal-hal yang patut diacungi jempol. Seperti pengenalan Indonesia lewat film seni bela diri Jawa, pengenalan Borobudur, kota Jogja, Keraton, dan dinamika kehidupan di Indonesia. Dapat diprediksi bahwa orang-orang yang menonton film ini akan “terprrovokasi” untuk dating ke Jogja dan Borobudur.
Selanjutnya, seperti kebanyakan film Hollywood, film ini juga menyajikan hal-hal yang tidak terduga. Misalnya, ketika si Jake menukarkan perhiasan palsu dengan yang asli ketika Malik terbunuh. Perhiasan inilah yang kemudian dikasih kepada putri (Sulthana) sebagai hadiah perpisahan, bukan malah mengambilnya lalu dibawa pulang ke Amerika.
 Selanjutnya, terdapat juga dialog tentang “kurang sopannya” laki-laki dan wanita berciuman mulut di depan umum. Hal ini dikemukakan oleh Jake kepada putri ketika menyerahkan kalung tersebut. Dan putri sangat terkesan akan siapa yang mengajarinya perihal yang demikian? Jake langsung member isyarat dan menoleh ke Hashim, lalu putri pun mengerti. Hal ini mengisyaratkan bahwa Jake telah belajar tentang norma di Indonesia, walau pun tidak banyak.

0 comments:

Post a Comment

Popular Posts

 
Copyright © 2014 Cang Pilem
Blogger Templates